Kamis, 13 Februari 2014

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi



KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. 
Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.

Berikut silsilahnya :

Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini. 
Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.
Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.
Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.
Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.
Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.

Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.

Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.

Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.

Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.

Telah meninggal dunia pada hari ini 26 Sya’ban 1430 H./18 Agustus 2009 pukul 02:20 WIB, KH. ASRORI BIN UTSMAN AL-ISHAQI, Kedinding Surabaya
Beliau adalah mursyid Thoriqoh Qodiriyah & Naqsabandiyyah saat ini, semoga Allah senantiasa mengampuni semua dosanya

Dzikir Mengagungkan Asma Allah Bersama Al Khidmah



Bersimpuh Dzikir Mengagungkan Asma Allah Bersama Al Khidmah




Orang itu bernama Haji Nur Zaman. Dia duduk bersila tepat di depan saya. Usianya sekitar 55 tahun. Berkulit gelap dan berbadan agak kerempeng dan tinggi.  Di saku bajunya tertulis Jamaah Dzikir Al Khidmah dari Malaysia. Dia duduk bersama jama’ah yang lain. Dia bersarung,  berbaju, dan bersongkok putih sebagaimana jama’ah Al Khidmah pada umumnya ketika sedang berdzikir. Tangan kanannya memegang tasbeh putih dan terus menghitung bersamaan dzikir yang diucapkan. Sesekali saya memandangnya dan dari wajahnya terus mengalir tetesan air mata.
Jam baru menunjukkan pukul 19.00 WIB ketika saya dan rombongan memasuki area pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, Jl. Kedinding Lor  Surabaya, Sabtu, 17 Juli 2010. Atas jasa beberapa orang anggota panitia dan santri, kami bisa mencapai tempat perhelatan majlis dzikir dan haul akbar tersebut. Tetapi pondok itu sudah dipenuhi lautan pedzikir yang berpakaian serba putih, mulai laki-perempuan, tua-muda, pejabat-rakyat jelata, masyaayikh, habaib-santri dari berbagai pelosok Indonesia, bahkan manca negara seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Yaman. Puluhan ribu jama’ah seakan tak mau ketinggalan dengan jama’ah yang lain berebut rahmat dan ridho Allah lewat lantunan-lantunan kalimah thoyyibah oleh seluruh jama’ah yang dipimpin oleh seorang habib.
Sebagai makhluk ciptaan Allah, bumi Kedinding pun seolah ikut larut dalam lantunan dzikir. Ia ingin dipamerkan pula kepada Allah lewat malaikat Jibril bahwa tidak hanya makhluk yang bernama manusia saja yang bersujud kepada Allah, tetapi juga semua ciptaan-Nya yang ada di langit dan di bumi, termasuk buminya itu sendiri. Tak pelak suasana di Pondok Pesantren  malam itu menjadi saksi betapa masih banyak manusia yang ingin dekat dengan Allah melalui majlis dzikir. Ternyata di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang serba materialistis, masih banyak hamba Allah yang tidak lupa kehidupan spiritual bahkan dengan pengorbanan yang tidak sedikit, sebagaimana Haji Nur Zaman, jama’ah dari Malaysia tadi. Demi mengejar ketenangan batin dan mencapai ridho Allah, dia rela mengeluarkan beaya yang tidak sedikit karena harus menempuh jarak beratus-ratus kilometer dari Malaysia untuk sampai area dzikir.
Acara haul akbar, majlis dzikir, dan maulidur Rasul itu menjadi lebih bermakna dengan kehadiran langsung cucu Sulthonul Auliya’ Sayydina Asy Syaikh Abdul Qodir Al Jiilani r a yang ke 19  dari Yaman yang juga memberikan mauidhotul hasanah. Dalam ceramahnya, beliau memuji masyarakat Indonesia yang baik, menekankan persatuan umat bahwa sesama muslim itu saudara, dan memuji peranan Hadhrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy r .a  sebagai pendiri majlis dzikir ini dengan harapan semoga beliau ditempatkan oleh Allah sebagai manusia mulia di sisi-Nya. Lebih penting dari itu, beliau ingin jama’ah ini tetap kokoh kendati sang pendiri sudah dipanggil Allah. Dia juga berjanji untuk tetap melanjutkan silaturrahim ini dengan menghadiri majlis dizkir setiap kali ada haul akbar.
Tidak kali ini saja saya menghadiri majlis dzikir seperti ini, tetapi yang di PP. Al Fitrah ini memang berbeda. Perbedaannya tidak saja dari jumlah jama’ah yang sangat banyak dan  makanan yang melimpah, tetapi juga sikap warga masyarakat sekitar pondok yang semuanya tidak terganggu dengan kehadiran banyak tamu di wilayahnya, tetap justru bersikap ‘welcome’.  Seakan berebut barokah dari majlis dzikir, pintu-pintu rumah keluarga sekitar pondok terbuka lebar menerima tamu dari luar daerah untuk menginap dengan gratis. Di tempat-tempat penginapan itu tertulis anggota kelompok masing-masing layaknya ketika jama’ah haji sedang wukuf di Arofah. Jadi ada tulisan ‘Maktab Semarang’, ‘Maktab Blitar’, ‘Maktab Malang’, ‘Maktab Malaysia’, ‘Maktab Singapura’, dan lain sebagainya. Para warga dan santri pondok juga begitu sigap mengatur tempat parkir kendaraan bermotor yang jumlahnya tentu sangat banyak. Semuanya gratis, alias tidak bayar.               .
Dulu ketika KH. Achmad Asrori Al Ishaqy pendiri majlis dzikir ini wafat, saya berpikir kelangsungan majlis dan mengkhawatirkan apa jumlah jama’ah masih bisa banyak sebagaimana waktu beliau masih hidup. Sebab, pengamatan saya menunjukkan biasanya sebuah majlis dan bahkan pondok pesantren yang ditinggal kyainya atau pendirinya biasanya surut. Tetapi kekhawatiran saya tidak terbukti. Justru di mana saja majlis dzikir ini diselenggarakan selalu dipenuhi jama’ah, bahkan cenderung meningkat. Saya pun berpikir bahwa Hadhrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy ra bukan sembarang kyai dan tokoh.
Beliau adalah hamba Allah yang sholeh dan ikhlas dalam menjalankan misi dakwahnya. Karena kesholehannya itu,  beliau memperoleh karomah dari Allah. Sekadar ilustrasi kecil, beliau belum pernah datang  ke rumah  saya dan tidak pernah seorang pun bercerita tentang tempat tinggal saya. Tetapi ketika saya mulai ikut jama’ah ini sekitar tiga tahun lalu, beliau  bertanya kepada salah seorang staf kepercayaannya nama saya dan mengapa tempat tinggal begitu masuk kampung dan lewat gang sempit yang berbelok-belok.  Saya terheran-heran bagaimana beliau tahu kondisi lingkungan tempat tinggal saya waktu itu. Rasanya antara percaya atau tidak. Tetapi itulah yang  sejujurnya terjadi.
Dari beberapa orang kepercayaannya diperoleh informasi bahwa cita-cita beliau terkait dengan majlis dzikir yang dirikannya adalah selain diharapkan jumlah jama’ahnya semakin banyak, juga jangkauannya. Jama’ah ini diharapkan juga masuk ke lembaga-lembaga pemerintah dan perguruan tinggi. Sebab, selama ini jama’ah semacam ini dikesan hanya diisi oleh masyarakat marjinal. Beliau ingin al khidhah adalah jama’ah dzikir bagi semua umat di mana pun mereka berada.
Cita-cita beliau telah terwujud. Di mana pun acara dzikir diadakan selalu memperoleh dukungan pemerintah daerah dan para pejabatnya juga sudah banyak yang menjadi anggota. Tidak saja itu, belakangan  para akademisi dan bahkan para guru besar dari banyak perguruan tinggi juga banyak yang secara aktif menjadi anggota Al Khidmah, sehingga bobot jama’ah dzikir ini semakin bertambah. Kampus-kampus seperti Instutut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Universitas Islam Malang (UNISMA), Universitas Islam Sunan Giri Ponorogo, dan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang  adalah sekadar contoh beberapa perguruan tinggi yang pernah menyelenggarakan dzkir akbar Al Khidmah.
Hadhrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy  memang telah meninggalkan kita semua dan menghadap Allah. Tetapi nafas perjuangannya untuk mengajak umat selalu dekat dengan sang Pencipta lewat dzikir yang diciptakannya insya Allah tidak akan  pernah padam. Dengan bersimpuh mengagungkan asma Allah melalui dzikir sebagaimana dilakukan Haji Nur Zaman dari Malaysia tadi dan seluruh jama’ah merupakan sarana untuk selalu menjaga keimanan dan ketakwaan hamba Allah yang memang selalu pasang surut. Al Khidmah hadir untuk menjaga agar keimanan dan  ketakwaan yang telah bersemai itu tidak surut, tetapi justru tumbuh dan berkembang sampai masing-masing di panggil Allah untuk menghadapnya. Amin-amin ya robbalaalamiin.





"Al Fithrah" dan "Al Khidmah" mengandung arti dan makna :
  1. Menjunjung tinggi ke-fithrahan
  2. Mengabdi keharibaan Allah SWT
  3. Mensuritauladani Rasulullah SAW
  4. Menegakkan dan meneruskan 'amaliyyah Salafunas Sholeh
  5. Berbakti kepada Nusa dan Bangsa Dalam naungan dan lindungan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

Lambang "Al Fithrah" dan "Al Khidmah" terdiri dari gambar :
  1. Pena, alat untuk menulis.
  2. Arah pena yang menunjuk ke arah bawah.
  3.  Kitab, 4 (empat) buah.
  4. Bintang, 3 (tiga) buah.
  5. Tasbih.
  6. Pentolan tasbih, yang mengarah ke dalam lingkaran.
  7. Pentolan tasbih yang panjang yang berada di bawah, mengarah ke atas.
Arti simbolik dari lambang "Al Fithrah" dan "Al Khidmah":
  1. Pena sebagai lambang mencari ilmu.
  2. Arah pena ke bawah melambangkan: menuntut dan menambah ilmu semenjak lahir hingga kembali ke liang lahat.
  3. (Empat) buah kitab melambangkan: berlandaskan atas dasar: Al Qur'an, Al Hadith, Al ljma' Al Qiyas.
  4. 3 (tiga) buah bintang melambangkan: memantapkan dan mensempurnakan: Al Islam, Al Iman dan Al Ikhsan.
  5. Tasbih melambangkan: mengikuti ketetapan dan 'amaliyyah Ulama' Aslafuna Ash Shalihun.
  6. Pentolan tasbih yang mengarah ke dalam melambangkan kesungguhan dan ke-ikhlasan dalam mengabdi dan berkhidmah kepada Allah SWT.
  7. Pentolan Tasbih yang panjang yang berada di bawah mengarah ke atas melambangkan: berkepribadian clan berperilaku rendah hati, mawas diri dan toleransi serta arif bijaksana demi meraih rahmat dan ridho serta keutamaan dan kemuliaan di sisi Allah SWT.

 
'Amaliyyah-'amaliyyah yang diamalkan oleh "Jama'ah Al Khidmah" selain pendidikan clan pelajaran yang berkaitan dengan ilmu lahir dan bathin, ialah:
  • Kebersamaan di dalam berdzikir kepada Allah SWT.
  • Kebersamaan di dalam Khataman Al Qur'an Al Karim.
  • Kebersamaan di dalam Sholawat kepada Rasulullah SAW.
  • Kebersamaan di dalam Manaqib.
  • Kebersamaan di dalam memuji dan bersyukur, dan berdo'a, mendo'akan kedua orang tua, para guru, para keluarga, para pinisepuh, para tokoh dan pemimpin masyarakat serta segenap arwaahul muslimin wal muslimat wal mu'minin wal muminat al ahyaa-i minhum wal amwaat.
  • Juga amaliyyah bermunajat, berwirid, berdzikir dan berdo'a selepas setiap mengerjakan sholat fardlu, seperti yang dihimpun dan ditertibkan dalam kitab "Al Fathatun Nuriyyah" jilid pertama, dan amaliyyah-amaliyyah sholat sunnah di pagi dan malam hari serta do'a-do'anya, seperti yang telah dihimpun dan ditertibkan dalam kitab "Al Fathatun Nuriyyah" jilid kedua.

Profile Pesanten Al-Fithrah


I. LATAR BELAKANG
Semenjak didirikan Kyai Muhammad Luthfi Ghozali pada tahun tahun 1996, kini Pondok Pesantren As Salafi AL FITHRAH Sumurrejo Gunungpati SEMARANG kian menunjukkan perkembangan. Terbukti dengan semakin meningkatnya pendatang Pondok Pesantren ini, baik sebagai santri yang menetap maupun jama’ah yang melaksanakan wirid “Khususi” berjama’ah yang dilaksanakan setiap malam Rabu. Wirid khususi tersebut adalah bagian dari amaliyah yang harus dilakukan oleh pengikut Jama’ah Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsabandiyah Al Utsmaniyah yang dibimbing oleh seorang guru mursyid yang mulia yaitu asy Syekh Ahmad Asrory al Ishaqy ra.
II. MAKSUD DAN TUJUAN
Maksud pendirian Pondok Pesantren As Salafi AL FITHRAH adalah membentuk manusia muslim Indonesia seutuhnya yang bertaqwa kepada Allah SWT antara lain untuk :
a. Menunjang pembangunan di bidang pendidikan, kebudayaan dan sosial.
b. Mendidik dan mencerdaskan umat Islam.
c. Membina manusia yang berakhlaqul karimah, beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT.
Untuk mencapai maksud dan tujuan tersebut di atas, maka kami telah melakukan berbagai usaha :
a. Membangun masjid.
b. Membangun asrama pondok pesantren putra dan putri.
c. Mendirikan dan menyelenggarakan lembaga pendidikan formal dan non formal.
d. Membentuk badan usaha untuk menghidupi biaya operasional Ponpes.
III. KAPASITAS
Pembangunan masjid dan pondok pesantren ini dibangun di atas tanah dengan luas dan kapasitas sebagai berikut :
· Luas tanah 11.000 m2
· Luas masjid 400 m2 dengan kapasitas 600 jama’ah.
· Luas asrama pondok putra dan putri 455 m2, dengan kapasitas 200 santri.
IV. BADAN USAHA
Untuk mencukupi sarana latihan wirausaha bidang ekonomi bagi santri yang sudah dewasa, maka badan usaha yang dipilih, diantaranya adalah :
a. Penerbitan buku “ilmiah agama”. Dengan nama perusahaan : “ABSHOR Hidmah dan ibadaH”. Di samping karya tulis pengasuh sendiri yang sudah tersedia beberapa judul buku, juga tidak menutup kemungkinan untuk menerbitkan karya penulis lainnya.
b. Kerajinan Pigura dan Kaligrafi.
V. PENUTUP
Berdasar uraian di atas dilihat dari sisi lokasi, area yang ada, sarana dan prasarana maupun Sumber Daya Manusianya yang memadai, tentunya di Pondok Pesantren As Salafi AL FITHRAH perlu sekali diadakan pengembangan dan peningkatan sarana dan prasarana, sehingga apa yang menjadi maksud serta tujuan segera terwujud menjadi kenyataan. Untuk itu, kami segenap pengelola Ponpes membuka peluang dan memberikan kesempatan kepada semua pihak untuk ikut serta dan bekerja sama dalam mewujudkan harapan dan cita-cita bersama.

Profile K.H. Ahmad Asrori Al-Ishaqi

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan k
epada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.

KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi merupakan putera dari Kyai Utsman Al-Ishaqi. Beliau mengasuh Pondok Pesantren Al-Fithrah Kedinding Surabaya. Kelurahan Kedinding Lor terletak di Kecamatan Kenjeran Kota Surabaya. Di atas tanah kurang lebih 3 hektar berdiri Pondok Pesantren Al-Fithrah yang diasuh Kiai Ahmad Asrori, putra Kiai Utsman Al-Ishaqy. Nama Al-Ishaqy dinisbatkan kepada Maulana Ishaq, ayah Sunan Giri, karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri.

Jika dirunut, Kiai Ahmad Asrori memiliki darah keturunan hingga Rasulullah Sallallahu Alaihi Wasallam yang ke 38, yakni Ahmad Asrori putra Kiai Utsman Al Ishaqi. Namanya dinisbatkan pada Maulana Ishaq ayah Sunan Giri. Karena Kiai Utsman masih keturunan Sunan Giri. Kiai Utsman berputra 13 orang.

Berikut silsilahnya :

Ahmad Asrori Al Ishaqi – Muhammad Utsman – Surati – Abdullah – Mbah Deso – Mbah Jarangan – Ki Ageng Mas – Ki Panembahan Bagus – Ki Ageng Pangeran Sedeng Rana – Panembahan Agung Sido Mergi – Pangeran Kawis Guo – Fadlullah Sido Sunan Prapen – Ali Sumodiro – Muhammad Ainul Yaqin Sunan Giri – Maulana Ishaq – Ibrahim Al Akbar – Ali Nurul Alam – Barokat Zainul Alam – Jamaluddin Al Akbar Al Husain – Ahmad Syah Jalalul Amri – Abdullah Khan – Abdul Malik – Alawi – Muhammad Shohib Mirbath – Ali Kholi’ Qasam – Alawi – Muhammad – Alawi – Ubaidillah – Ahmad Al Muhajir – Isa An Naqib Ar Rumi – Muhammad An Naqib – Ali Al Uraidli – Ja’far As Shodiq – Muhammad Al Baqir – Ali Zainal Abidin – Hussain Bin Ali – Ali Bin Abi Thalib / Fathimah Binti Rasulullah SAW.

Semasa hidup, Kiai Utsman adalah mursyid Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Dalam dunia Islam, tarekat Naqsyabandiyah dikenal sebagai tarekat yang penting dan memiliki penyebaran paling luas; cabang-cabangnya bisa ditemukan di banyak negeri antara Yugoslavia dan Mesir di belahan barat serta Indonesia dan Cina di belahan timur. Sepeninggal Kiai Utsman tahun 1984, atas penunjukan langsung Kiai Utsman, Kiai Ahmad Asrori meneruskan kedudukan mursyid ayahnya. Ketokohan Kiai Asrori berawal dari sini.

Konon, almarhum KH. Utsman adalah salah satu murid kesayangan KH. Romli Tamim (ayah KH. Musta’in) Rejoso, Jombang, Jawa Timur. Beliau dibaiat sebagai mursyid bersama Kiyai Makki Karangkates Kediri dan Kiai Bahri asal Mojokerto. Kemudian sepeninggal Kiai Musta’in (sekitar tahun 1977), beliau mengadakan kegiatan sendiri di kediamannya Sawah Pulo Surabaya.

Maka, jadilah Sawah Pulo sebagai sentra aktifitas thariqah di kota metropolis di samping Rejoso sendiri dan Cukir Jombang. Sepeninggal Kiai Utsman, tongkat estafet kemursyidan kemudian diberikan kepada putranya, Kiai Minan, sebelum akhirnya ke Kiai Asrori (konon pengalihan tugas ini berdasarkan wasiat Kiai Utsman menjelang wafatnya). Di tangan Kiai Asrori inilah jama’ah yang hadir semakin membludak. Uniknya, sebelum memegang amanah itu, Kiai Asrori memilih membuka lahan baru, yakni di kawasan Kedinding Lor yang masih berupa tambak pada waktu itu.

Dakwahnya dimulai dengan membangun masjid, secara perlahan dari uang yang berhasil dikumpulkan, sedikit demi sedikit tanah milik warga di sekitarnya ia beli, sehingga kini luasnya mencapai 2,5 hektar lebih. Dikisahkan, ada seorang tamu asal Jakarta yang cukup ternama dan kaya raya bersedia membantu pembangunan masjid dan pembebasan lahan sekaligus, tapi Kiai Asrori mencegahnya. “Terima kasih, kasihan orang lain yang mau ikutan menyumbang, pahala itu jangan diambil sendiri, lebih baik dibagi-bagi”, ujarnya.

Kini, di atas lahan seluas 2,5 hektar itu Kiai Asrori mendirikan Pondok Pesantren Al Fithrah dengan ratusan santri putra putri dari berbagai pelosok tanah air. Untuk menampungnya, pihak pesantren mendirikan beberapa bangunan lantai dua untuk asrama putra, ruang belajar mengajar, penginapan tamu, rumah induk dan asrama putri (dalam proses pembangunan) serta bangunan masjid yang cukup besar.

Itulah Kiai Asrori, keberhasilannya boleh jadi karena kepribadiannya yang moderat namun ramah, di samping kapasitas keilmuan tentunya. Murid-muridnya yang telah menyatakan baiat ke Kiai Asrori tidak lagi terbatas kepada masyarakat awam yang telah berusia lanjut saja, akan tetapi telah menembus ke kalangan remaja, eksekutif, birokrat hingga para selebritis ternama. Jama’ahnya tidak lagi terbatas kepada para pecinta thariqah sejak awal, melainkan telah melebar ke komunitas yang pada mulanya justru asing dengan thariqah.

Walaupun tak banyak diliput media massa, namanya tak asing lagi bagi masyarakat thariqah. Namun demikian, sekalipun namanya selalu dielu-elukan banyak orang, dakwahnya sangat menyejukkan hati dan selalu dinanti, Kiai Asrori tetap bersahaja dan ramah, termasuk saat menerima tamu. Beliau adalah sosok yang tidak banyak menuntut pelayanan layaknya orang besar, bahkan terkadang ia sendiri yang menyajikan suguhan untuk tamu.

Tanda tanda menjadi panutan sudah nampak sejak masa mudanya. Masa mudanya dihabiskan untuk menuntut ilmu ke berbagai pondok pesantren di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Kala itu Kiai Asrori muda yang badannya kurus karena banyak tirakat dan berambut panjang memiliki geng bernama “orong-orong”, bermakna binatang yang keluarnya malam hari. Jama’ahnya rata-rata anak jalanan alias berandalan yang kemudian diajak mendekatkan diri kepada Allah lewat ibadah pada malam hari. Meski masih muda, Kiai Asrori adalah tokoh yang kharismatik dan disegani berbagai pihak, termasuk para pejabat dari kalangan sipil maupun militer.

Tugas sebagai mursyid dalam usia yang masih muda ternyata bukan perkara mudah. Banyak pengikut Kiai Utsman yang menolak mengakui Kiai Asrori sebagai pengganti yang sah. Sebuah riwayat menceritakan bahwa para penolak itu, pada tanggal 16 Maret 1988 berangkat meninggalkan Surabaya menuju Kebumen untuk melakukan baiat kepada Kiai Sonhaji. Tidak diketahui dengan pasti bagaimana sikap Kiai Asrori terhadap aksi tersebut namun sejarah mencatat bahwa Kiai Arori tak surut. Ia mendirikan pesantren Al-Fithrah di Kedinding Lor, sebuah pesantren dengan sistem klasikal, yang kurikulum pendidikannya menggabungkan pengetahuan umum dan pengajian kitab kuning. Ia juga menggagas Al-Khidmah, sebuah jamaah yang sebagian anggotanya adalah pengamal tarekat Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Jamaah ini menarik karena sifatnya yang inklusif, ia tidak memihak salah satu organisasi sosial manapun.

Meski dihadiri tokoh-tokoh ormas politik dan pejabat negara, majelis-majelis yang diselenggarakan Al-Khidmah berlangsung dalam suasana murni keagamaan tanpa muatan-muatan politis yang membebani. Kiai Asrori seolah menyediakan Al-Khidmah sebagai ruang yang terbuka bagi siapa saja yang ingin menempuh perjalanan mendekat kepada Tuhan tanpa membedakan baju dan kulit luarnya. Pelan tapi pasti organisasi ini mendapatkan banyak pengikut. Saat ini diperkirakan jumlah mereka jutaan orang, tersebar luas di banyak provinsi di Indonesia, hingga Singapura dan Filipina. Dengan kesabaran dan perjuangannya yang luar biasa, Kiai Asrori terbukti mampu meneruskan kemursyidan yang ia dapat dari ayahnya. Bahkan lebih dari itu, ia berhasil mengembangkan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah ke suatu posisi yang mungkin tak pernah ia bayangkan.

Kiai Asrori adalah pribadi yang istimewa. Pengetahuan agamanya dalam dan kharisma memancar dari sosoknya yang sederhana. Tutur katanya lembut namun seperti menerobos relung-relung di kedalaman hati pendengarnya. Menurut keluarga dekatnya, sewaktu muda Kiai Asrori telah menunjukkan keistimewaan-keistimewaan.

Mondhoknya tak teratur. Ia belajar di Rejoso satu tahun, di Pare satu tahun, dan di Bendo satu tahun. Di Rejoso ia malah tidak aktif mengikuti kegiatan ngaji. Ketika hal itu dilaporkan kepada pimpinan pondok, Kiai Mustain Romli, ia seperti memaklumi, “biarkan saja, anak macan akhirnya jadi macan juga.” Meskipun belajarnya tidak tertib, yang sangat mengherankan, Kiai Asrori mampu membaca dan mengajarkan kitab Ihya’ Ulum al-Din karya Al-Ghazali dengan baik. Di kalangan pesantren, kepandaian luar biasa yang diperoleh seseorang tanpa melalui proses belajar yang wajar semacam itu sering disebut ilmu ladunni (ilmu yang diperoleh langsung dari Allah SWT). Adakah Kiai Asrori mendapatkan ilmu laduni sepenuhnya adalah rahasia Tuhan, wallahu a’lam. Ayahnya sendiri juga kagum atas kepintaran anaknya. Suatu ketika Kiai Utsman pernah berkata “seandainya saya bukan ayahnya, saya mau kok ngaji kepadanya.” Barangkali itulah yang mendasari Kiai Utsman untuk menunjuk Kiai Asrori (bukan kepada anak-anaknya yang lain yang lebih tua) sebagai penerus kemursyidan Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah padahal saat itu Kiai Asrori masih relatif muda, 30 tahun.

Tata Cara Sholat Tasbih Jama'ah Alkhidmah


Sholat Tasbih ini dilakukan 4 rakaat dan setiap 2 rakaat diakhiri dengan salam (jika dikerjakan pada malam hari), 4 rakaat dengan 1 salam (jika dikerjakan siang hari)

A.    Rakaat pertama
  1. Setelah membaca Al Fatihah membaca surat Attakasur (Alhakumuttakatsur …) kemudian membaca tasbih dan tahmid ( Subhanallah wal hamdulillah wala ilaaha illallahu wallaahu akbar) 15 x
  2. Ruku’ (subhaanarobbiyal adzimi wabihamdih 3x) kemudian membaca tasbih dan tahmid 10 x.
  3. Berdiri I’tidal Robbana lakal hamdu mil ussamaawaati wamil ul ardli wamil uma syikta missyai’in ba’du), kemudian membaca tasbih dan tahmid 10 x.
  4. Sujud(Subhaana robbiyal a’laa wabihamdi 3 x), kemudian membaca tasbih dan tahmid 10 x.
  5. Duduk di antar 2 sujud ( robbighfirli warhamni ….), kemudian membaca tasbih dan tahmid 10 x.
  6. Sujud (Subhaana robbiyal a’laa wabihamdi 3 x), kemudian membaca tasbih dan tahmid 10 x.
  7. Duduk istirahat, diiringi mengucapkan allaahu akbar dan membaca tasbih dan tahmid 10 x, kemudian berdiri untuk rakaat kedua tanpa takbir.

B.     Rakaat kedua
  1. Setelah membaca Al Fatihah membaca surat Al ‘ Ashr (Wal ‘Ashri …) kemudian membaca tasbih dan tahmid ( Subhanallah wal hamdulillah wala ilaaha illallahu wallaahu akbar) 15 x
  2. Ruku’, I’tidal, Sujud, duduk di antara dua sujud (seperti rakaat pertama), kemudian duduk tahiyat (Attahiyyatul mubaarakaatus sholawaatut toyyibatulillah .. ila akhirihi) kemudian membaca tasbih dan tahmid 10 x.

C.     Rakaat ketiga
  1. Setelah membaca Al Fatihah membaca surat Al ‘ Kafirun (Qulyaa ayyuhal kafirun …) kemudian membaca tasbih dan tahmid ( Subhanallah wal hamdulillah wala ilaaha illallahu wallaahu akbar) 15 x
  2.  Ruku’, I’tidal, Sujud, duduk di antara dua sujud (seperti rakaat pertama)
D.    Rakaat keempat
  1. Setelah membaca Al Fatihah membaca surat Al ‘ Ikhlas (Qul huwallaahu ahad …) kemudian membaca tasbih dan tahmid ( Subhanallah wal hamdulillah wala ilaaha illallahu wallaahu akbar) 15 x
  2. Ruku’, I’tidal, Sujud, duduk di antara dua sujud (seperti rakaat kedua)
Kemudian dilanjutkan dengan Sholat sunnah “Li Qodloil Hajat”
A.    Rakaat pertama
Setelah membaca Al Fatihah membaca surat Al ‘ Kafirun (Qulyaa ayyuhal kafirun …) 10 x
B.     Rakaat Kedua
Setelah membaca Al Fatihah membaca surat Al ‘ Ikhlas (Qul huwallaahu ahad …) 10 x

Setelah salam, kemudian takbiratul ikhram ( Allaahu Akbar ) disertai dengan niat sujud syukur kepada Allah, dalam sujud syukur membaca:
  1. Tasbih dan tahmid ( Subhanallah wal hamdulillah wala ilaaha illallahu wallaahu akbar) 10 x
  2.  Sholawat ( Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa alaa aali sayyidina Muhammad ) 10 x
  3.  Do’a sapu jagad ( Robbana atina fiddunya hasanah wafil akhirati hasanah …) 10 x
Keterangan   : Dalam setiap membaca tasbih dan tahmid seyogyanya lebih sempurna diakhiri dengan membaca La haula walaa quwwata illa billahil aliyyil adzim.
Panitia
Jama’ah Al Khidmah

Masyayikh Dan Habaib Alkhidmah

Al Habib Umar Bin Hamid

Bin Abdul Hadi Aljailani

Al Habib Umar Bin Hamid Bin Abdul Hadi Al Jailani
Saat ini jutaan ummat Islam, termasuk 211 ribu jamaah dari Indonesia mulai berangkat menuju tanah suci untuk 
melaksanakan ibadah haji. Di sela-sela ibadah haji atau umrah, biasanya ada sebagian jamaah haji Indonesia yang menyempatkan untuk bersilaturahim kepada beberapa ulama besar di Mekkah.
Yang sering jadi jujugan para jamaah dulu adalah Abuya Sayyaid Muhammad bin Alwi al-Maliki, pendiri ribath maliki yang masyhur  yang saat ini diteruskan putranya sayyaid Ahmad bin Muhammad Al-Maliki. Ada pula Sayyid Abbas Al-Maliki,  paman daripada Sayyid Muhammad Al-Maliki. Nah, diantara ulama besar yang bisa dikunjungi saat ibadah haji atau umrah adalah Habib Umar bin Hamid bin Abdulhadi Al-Jailani.
Ketika Media Ummat  ibadah umrah, saya bersama Komisaris Media Ummat, H. Canggih Sakina Hans, Direktur MU, Pujo Kusharyadi dan beberapa pengurus Jamaah Al-Khidmah  bersilaturahim kepada Beliau, kami diajak mengikuti pengajian rutin yang Beliau asuh setiap Selasa Malam Rabu.
Nampak sekali kalau beliau adalah ulama besar yang menjadi rujukan ulama-ulama Ahlussunnah Wal jamaah, terlebih dari kala ngan Madzhab Syafi’i. Majelis-majelisnya  dipenuhi para pencari ilmu, termasuk dari kalangan ulama.
Dalam majelis taklim yang juga dihadiri para ulama di Kota Mekkah ini Habib Umar mengkaji Kitab Al-Muqaddimah Al-Khad romiyyah dalam bab Syuruthul Jamaah (syarat-syarat sholat berjamaah) dan Kitab Hadits Bulughul Maram. Sebelum pembacaan kitab, majelis yang rutin dilaksanakan di aula kediaman salah seorang muhibbin (pecinta) ahlul bait, Sayyid Alwi Fad’aq ini diawali de ngan pembacaan dzikir Ratibul Haddad.
Setelah sebagian santri membaca beberapa bait dari Kitab Al-Muqaddimah Al-Khadromiyyah, Habib Umar menjelaskan de ngan kalimat yang tertata rapi. Nadanya datar, tapi terukur. Tidak berapi-api, tapi masuk ke dalam hati. Beliau juga memberikan kesempatan untuk bertanya. Dari jawaban-jawaban Beliau yang lugas, dan jelas menunjukkan bahwa Beliau benar-benar ulama berkelas.
Setelah majelis ditutup dengan do’a yang dipimpin Habib Umar, para jamaah berkumpul dalam beberapa kelompok untuk menyantap hidangan makan malam nasi briyani.
Meski kedudukannya sangat terhormat, Habib Umar bin Hamid  tetap hidup bersahaja. Rumahnya berbentuk kubah, seperti keba nyakan model rumah-rumah di Arab Saudi, dengan dominan warna abu-abu, dan pagar setinggi 3 meter, nampak berwibawa. Dari depan rumah Beliau nampak hamparan bukit batu sejauh mata memandang.
Ruang dalam rumah didominasi warna putih. Di salah satu ruang tamu dengan kursi warna hijau muda, Beliau menemui Media Ummat dan beberapa Pengurus Jamaah  Al-Khidmah. Dengan sabar, Beliau menanyakan tentang bagaimana kiprah Media Ummat, situa si dan kondisi ummat Islam di Indonesia, serta perkembangan jamaah Al-Khidmah. Kejadian lucu terjadi ketikat salah seorang mukimin minta Media Ummatnya akan dibawa pulang, karena dianggap Habib Umar tidak memahami Bahasa Indonesia, Beliau menolak, “Biarkan saja di sini”, Subhanallah.

Habib Umar bin Hamid saat menyampaikan ilmu di majelisnya. Membacakan do’a bersama MU dan Jamaah al-Khidmah
Habib Umar bin Hamid saat menyampaikan ilmu di majelisnya. Membacakan do’a bersama MU dan Jamaah al-Khidmah
Sejurus kemudian, kami diajak ke perpustakaan pribadinya. Sekeliling tembok ada lemari kaca dengan deretan kitab dan buku. Beberapa kitab nampak menumpuk di atas meja hitam menunjukkan bahwa Beliau selalu rajin menelaah kitab.
Al Habib Umar bin Hamid bin Abdul Hadi Al-Jailani lahir pada tahun 1950, di Lembah Do’an Hadramaut Yaman. Sejak kecil, pada umur 7 tahun, Beliau sudah belajar  iImu agama dan mengkaji Al-Qur’an di rumahnya.  Habib Umar mempelajari kitab-kitab ilmu syariat dan beliau menghafal sebagian dari matan-matannya bersama ayah beliau, Al  Allamah Alhabib Hamid Bin Abdul Hadi Al Jailani.  Habib Umar sangat beruntung karena memiliki ayah seorang alim. Beliau juga belajar kitab-kitab lainnya di hadapan ayah beliau.
Di samping ngaji kepada ayahnya, Habib Umar juga ngaji kepada ulama ulama besar di Hadhromaut. Untuk memperdalam ilmu agama, Habib yang kini berusia 62 tahun itu berangkat ke  Tanah Suci, Mekkah  Al Mukarromah untuk belajar kepada mereka ulama-ulama Mekkah.
Di tanah kelahiran kanjeng Nabi ini, Habib Umar bin Hamid yang merupakan  keturunan Syekh Abdul Qadir Al Jailani ini belajar kepada para masyaikh, diantaranya  Al  ‘Allamah As-Syayid Alawi Al-Maliki, Al  ‘Allamah  Assyekh  Hasan Masyad, Al  ‘Allamah  Assyekh  Abdullah Da’dum. Tak heran jika keilmuan Habib Umar sangat mendalam. Berbekal ilmu yang begit luas, Habib Umar mengajarkan ilmunya dan menebarkan dakwah.
Selain membuka majelis ilmu di kediamannya, di distrik Subhaniyah yang berjarak sekitar 5 kilometer dari Masjidil Haram, Beliau juga mengajar di beberapa majelis  ilmu di Kota Mekkah. Habib Umar bin Hamid juga menyampaikan dakwah di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Setiap tahun, Beliau datang ke tanah air untuk me ngobati rasa haus ilmu ummat Islam di Indonesia.
Salah satu jam’iyyah yang rutin mengundang Beliau adalah Jamaah Al-Khidmah. Beliau memang diminta langsung oleh Almaghfurulah Hadrotussyeikh Romo KH. Ahmad Asrori Al-Ishaqi untuk ikut membina Jamaah Al-Khidmah.
Di samping aktif menyampaikan ilmu melalui forum pengajian, Habib yang selalu tampil santun ini juga giat dalam menuangkan ilmunya dalam bentuk tulisan. Beliau menulis kitab-kitab diantaranya, At-Tadzkir Wa  Hajatunas  Ilaiha, Kholasatul  Khobar Dan Syarah  Kitab Safinatun Najah. Keluhuran ilmu dan ketinggian pekerti menjadikan Habib Umar laksana mutiara.
Kedalaman ilmunya, menjadikan Beliau dibutuhkan dimanapun. Beliau sering bepergian ke Negara-negara Islam lainnya, serta menghadiri muktamar-muktamar atau seminar lainnya. Bahkan beliau juga menjabat sebagai anggota Majelis Umara Di Universitas Al-Ahgoff  dan Habib Umar merupakan salah satu pendiri sekaligus sebagai donatur di universitas ternama di Hadhromaut itu.

Mutiara Dakwah
Ust. Syafi’i Ghirom, (kiri) bersama Habib Umar bin Hamid di Masjid istiqlal.
Ust. Syafi’i Ghirom, (kiri) bersama Habib Umar bin Hamid di Masjid istiqlal.
Media Ummat beberapa kali menghadiri dakwah Habib Umar bin Hamid di Indonesia, diantaranya pada acara Indonesia Berdzikir yang digagas Jamaah Al-Khidmah di Masjid Istiqlal beberapa waktu yang lalu.
Berikut ini, diantara mutiara hikmah yang Beliau sampaikan. “Bentuk rasa syukur terbesar sebagai ummat Islam yang hidup di negeri makmur ini adalah berdzikir, menyebut  nama Allah Azza wa Jalla, dan bershalawat, kepada Sayyidina Muhammad SAW, sehingga pancaran karunia Allah senantiasa menyinari bumi ini.”
Betapa pentingnya makna dzikir dalam kehidupan seorang muslim, sehingga Allah SWT menyebut-nyebut mereka yang gemar berdzikir di hadapan para malaikat-Nya dengan penuh kebanggaan. Terlebih lagi dengan mereka yang berkumpul dalam perkumpulan semacam ini. Baginda Rasulullah SAW tentunya melihat dengan penuh bangga atas apa yang dilakukan ummatnya ini.  “Jika beliau bangga dan senang dengan apa yang dilihat dan dirasakannya, beliau berdoa, “Alham dulillahi bini’matihi tatimmush shalihat”,  (Segala puji bagi Allah, yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan terkumpul sempurna)”.
Dalam taushiyahnya, Habib Umar juga mengingatkan peran sentral masjid. Berdirinya masjid ini merupakan bentuk rasa syukur para ulama, pejuang, dan pemimpin Indonesia, atas kemerdekaan yang diperoleh berkat rahmat Allah SWT.  Lalu masjid ini dimakmurkan kaum muslimin Indonesia dengan kegiatan bagi ummat, khususnya perkumpulan dzikir, sehingga bangsa ini menda patkan pancaran karunia Ilahi.
Habib Umar juga mengingatkan agar kaum muslimin selalu mengaitkan segala sesuatu dalam kehidupannya dengan melihat kecintaan mereka kepada Rasulullah SAW.  “Tidak ada teladan dalam semua sisi kehidupan manusia kecuali menengok kepada diri Rasulullah SAW, yang begitu sempurna.
Hendaknya kaum muslimin Indonesia tetap berpegang teguh de ngan thariqah Ahlussunnah wal Jama’ah, yang tidak melenceng sedikit pun dari ajaran Nabi Muhammad SAW.