Bersimpuh Dzikir Mengagungkan Asma Allah Bersama Al Khidmah |
Orang itu bernama Haji Nur Zaman. Dia duduk bersila tepat di depan saya. Usianya sekitar 55 tahun. Berkulit gelap dan berbadan agak kerempeng dan tinggi. Di saku bajunya tertulis Jamaah Dzikir Al Khidmah dari Malaysia. Dia duduk bersama jama’ah yang lain. Dia bersarung, berbaju, dan bersongkok putih sebagaimana jama’ah Al Khidmah pada umumnya ketika sedang berdzikir. Tangan kanannya memegang tasbeh putih dan terus menghitung bersamaan dzikir yang diucapkan. Sesekali saya memandangnya dan dari wajahnya terus mengalir tetesan air mata.
Jam baru menunjukkan pukul 19.00 WIB ketika saya dan rombongan memasuki area pondok Pesantren Assalafi Al Fithrah, Jl. Kedinding Lor Surabaya, Sabtu, 17 Juli 2010. Atas jasa beberapa orang anggota panitia dan santri, kami bisa mencapai tempat perhelatan majlis dzikir dan haul akbar tersebut. Tetapi pondok itu sudah dipenuhi lautan pedzikir yang berpakaian serba putih, mulai laki-perempuan, tua-muda, pejabat-rakyat jelata, masyaayikh, habaib-santri dari berbagai pelosok Indonesia, bahkan manca negara seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Yaman. Puluhan ribu jama’ah seakan tak mau ketinggalan dengan jama’ah yang lain berebut rahmat dan ridho Allah lewat lantunan-lantunan kalimah thoyyibah oleh seluruh jama’ah yang dipimpin oleh seorang habib.
Sebagai makhluk ciptaan Allah, bumi Kedinding pun seolah ikut larut dalam lantunan dzikir. Ia ingin dipamerkan pula kepada Allah lewat malaikat Jibril bahwa tidak hanya makhluk yang bernama manusia saja yang bersujud kepada Allah, tetapi juga semua ciptaan-Nya yang ada di langit dan di bumi, termasuk buminya itu sendiri. Tak pelak suasana di Pondok Pesantren malam itu menjadi saksi betapa masih banyak manusia yang ingin dekat dengan Allah melalui majlis dzikir. Ternyata di tengah hiruk pikuk kehidupan modern yang serba materialistis, masih banyak hamba Allah yang tidak lupa kehidupan spiritual bahkan dengan pengorbanan yang tidak sedikit, sebagaimana Haji Nur Zaman, jama’ah dari Malaysia tadi. Demi mengejar ketenangan batin dan mencapai ridho Allah, dia rela mengeluarkan beaya yang tidak sedikit karena harus menempuh jarak beratus-ratus kilometer dari Malaysia untuk sampai area dzikir.
Acara haul akbar, majlis dzikir, dan maulidur Rasul itu menjadi lebih bermakna dengan kehadiran langsung cucu Sulthonul Auliya’ Sayydina Asy Syaikh Abdul Qodir Al Jiilani r a yang ke 19 dari Yaman yang juga memberikan mauidhotul hasanah. Dalam ceramahnya, beliau memuji masyarakat Indonesia yang baik, menekankan persatuan umat bahwa sesama muslim itu saudara, dan memuji peranan Hadhrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy r .a sebagai pendiri majlis dzikir ini dengan harapan semoga beliau ditempatkan oleh Allah sebagai manusia mulia di sisi-Nya. Lebih penting dari itu, beliau ingin jama’ah ini tetap kokoh kendati sang pendiri sudah dipanggil Allah. Dia juga berjanji untuk tetap melanjutkan silaturrahim ini dengan menghadiri majlis dizkir setiap kali ada haul akbar.
Tidak kali ini saja saya menghadiri majlis dzikir seperti ini, tetapi yang di PP. Al Fitrah ini memang berbeda. Perbedaannya tidak saja dari jumlah jama’ah yang sangat banyak dan makanan yang melimpah, tetapi juga sikap warga masyarakat sekitar pondok yang semuanya tidak terganggu dengan kehadiran banyak tamu di wilayahnya, tetap justru bersikap ‘welcome’. Seakan berebut barokah dari majlis dzikir, pintu-pintu rumah keluarga sekitar pondok terbuka lebar menerima tamu dari luar daerah untuk menginap dengan gratis. Di tempat-tempat penginapan itu tertulis anggota kelompok masing-masing layaknya ketika jama’ah haji sedang wukuf di Arofah. Jadi ada tulisan ‘Maktab Semarang’, ‘Maktab Blitar’, ‘Maktab Malang’, ‘Maktab Malaysia’, ‘Maktab Singapura’, dan lain sebagainya. Para warga dan santri pondok juga begitu sigap mengatur tempat parkir kendaraan bermotor yang jumlahnya tentu sangat banyak. Semuanya gratis, alias tidak bayar. .
Dulu ketika KH. Achmad Asrori Al Ishaqy pendiri majlis dzikir ini wafat, saya berpikir kelangsungan majlis dan mengkhawatirkan apa jumlah jama’ah masih bisa banyak sebagaimana waktu beliau masih hidup. Sebab, pengamatan saya menunjukkan biasanya sebuah majlis dan bahkan pondok pesantren yang ditinggal kyainya atau pendirinya biasanya surut. Tetapi kekhawatiran saya tidak terbukti. Justru di mana saja majlis dzikir ini diselenggarakan selalu dipenuhi jama’ah, bahkan cenderung meningkat. Saya pun berpikir bahwa Hadhrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy ra bukan sembarang kyai dan tokoh.
Beliau adalah hamba Allah yang sholeh dan ikhlas dalam menjalankan misi dakwahnya. Karena kesholehannya itu, beliau memperoleh karomah dari Allah. Sekadar ilustrasi kecil, beliau belum pernah datang ke rumah saya dan tidak pernah seorang pun bercerita tentang tempat tinggal saya. Tetapi ketika saya mulai ikut jama’ah ini sekitar tiga tahun lalu, beliau bertanya kepada salah seorang staf kepercayaannya nama saya dan mengapa tempat tinggal begitu masuk kampung dan lewat gang sempit yang berbelok-belok. Saya terheran-heran bagaimana beliau tahu kondisi lingkungan tempat tinggal saya waktu itu. Rasanya antara percaya atau tidak. Tetapi itulah yang sejujurnya terjadi.
Dari beberapa orang kepercayaannya diperoleh informasi bahwa cita-cita beliau terkait dengan majlis dzikir yang dirikannya adalah selain diharapkan jumlah jama’ahnya semakin banyak, juga jangkauannya. Jama’ah ini diharapkan juga masuk ke lembaga-lembaga pemerintah dan perguruan tinggi. Sebab, selama ini jama’ah semacam ini dikesan hanya diisi oleh masyarakat marjinal. Beliau ingin al khidhah adalah jama’ah dzikir bagi semua umat di mana pun mereka berada.
Cita-cita beliau telah terwujud. Di mana pun acara dzikir diadakan selalu memperoleh dukungan pemerintah daerah dan para pejabatnya juga sudah banyak yang menjadi anggota. Tidak saja itu, belakangan para akademisi dan bahkan para guru besar dari banyak perguruan tinggi juga banyak yang secara aktif menjadi anggota Al Khidmah, sehingga bobot jama’ah dzikir ini semakin bertambah. Kampus-kampus seperti Instutut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Universitas Islam Malang (UNISMA), Universitas Islam Sunan Giri Ponorogo, dan Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang adalah sekadar contoh beberapa perguruan tinggi yang pernah menyelenggarakan dzkir akbar Al Khidmah.
Hadhrotusy Syaikh KH. Achmad Asrori Al Ishaqy memang telah meninggalkan kita semua dan menghadap Allah. Tetapi nafas perjuangannya untuk mengajak umat selalu dekat dengan sang Pencipta lewat dzikir yang diciptakannya insya Allah tidak akan pernah padam. Dengan bersimpuh mengagungkan asma Allah melalui dzikir sebagaimana dilakukan Haji Nur Zaman dari Malaysia tadi dan seluruh jama’ah merupakan sarana untuk selalu menjaga keimanan dan ketakwaan hamba Allah yang memang selalu pasang surut. Al Khidmah hadir untuk menjaga agar keimanan dan ketakwaan yang telah bersemai itu tidak surut, tetapi justru tumbuh dan berkembang sampai masing-masing di panggil Allah untuk menghadapnya. Amin-amin ya robbalaalamiin.
Arti simbolik dari lambang "Al Fithrah" dan "Al Khidmah":
'Amaliyyah-'amaliyyah yang diamalkan oleh "Jama'ah Al Khidmah" selain pendidikan clan pelajaran yang berkaitan dengan ilmu lahir dan bathin, ialah:
|
ane doakan semoga penulis blog ini panjang umurnya murah rejekinya istiqomah bersama alkhidmah www.alkhidmahplantungan.com
BalasHapus